Tamu Sekaligus Guru
Saya pernah merasakan kedua-duanya; jadi pihak yang diundang dan juga yang mengundang . Kedua-duanya punya hak, kewajiban, dan cerita masing-masing.
Saya mulai dari yang pertama dulu ya. Ketika jadi undangan.
Saya yakin, dakwah dan memberi nasehat kepada manusia itu menjadi bagian dari kewajiban sosial dalam hidup. Dengan itu kita dapat menebar manfaat di tengah masyarakat. Adanya undangan itu sebenarnya bagian dari karunia besar, sebab kita diberi kesempatan berbicara dan orang lain siap mendengarkan.
Masya Allah. Memangnya saya ini siapa sampai harus didengarkan?
Semua ini semata-mata karena karunia Allah dan rasa husnu zhann di hati panitia dan tuan rumah.
Panitia dan tuan rumah menyebarkan undangan dan iklan di media sosial, mengundang orang datang baik online dan offline. Seharusnya saya bersyukur kepada Allah dan berterima kasih kepada panitia sudah diberi kesempatan.
Sudah begitu, pas pulang kadang dikasih amplop.
Ya kadang-kadang ada isinya, kadang juga kosong
Seperti yang terjadi malam itu, saat hujan deras.
Sebelum berangkat istri ngasih uang 5K buat isi bensin motor. Karena hari hujan dan hampir maghrib, saya niat isi bensinnya pas pulang.
Bakda isya hujannya semakin deras. Saya gas motor yang bensinnya hampir habis ke pom bensin terdekat. Di depan petugas, saya langsung bilang: Full Tanki Pak..!
Saya pede. Sebab tadi sebelum pulang panitia sempat menyisipkan amplop saat salaman. Saya simpan di tas.
Saat proses mengisi, saya ambil amlop itu. Kosong…!
Langsung saya teriak ke petugas. Stop pak… stop.. 5 ribu saja…!
Tapi terlanjur. Sudah diisi penuh.
Saya periksa lagi amplopnya. Eh ternyata ada isinya. Cukup buat isi bensin motor full. Heheh, ternyata tadi saya salah ambil amplop.
Nasib saya ini jauh lebik baik dari nasib bapak saya. Waktu kecil dulu pernah cerita, keadaanya persis seperti keadaan saya ini. Pas mau isi bensin motor, ambil amplop. Ternyata isinya secarik kertas bertuliskan: “Terimakasih atas partisipasi anda” :D. Padahal amplopnya cuma ada satu itu. Tidak ada yang lain.
Di Parkiran Motor
Saya pernah ngisi kajian di sebuah tempat. Setelah selesai kajian, pas saya di parkiran, datang panitianya sambil mengulurkan tangan kanan, kayak ngasih kertas. “Nih Ustadz, ambil” Saya lihat sekilas, kelihatannya amlop. “Terima kasih pak..!” saya tidak ambil. saya segera pergi dan berlalu. Dalam hati saya, “Tidak sopan!”
Tapi saya tidak perlu berkecil hati.
Dulu pernah ada seorang syaikh di maqraah quran di masjid al azhar mesir, setelah muridnya khatam, sang murid ini memberi beberapa lembar uang tunai secara langsung kepada syekh di hadapan murid-murid yang lain sebagai apresiasi dan ucapan terimakasih.
Apa kata syekh? “Anta Himaar..!” Dasar keledai..!
Kenapa? Itu bukan apresiasi. Itu penghinaan dan merendahkan derajat syekh di hadapan murid-muridnya.
Hormat
Ya disinilah penting sekali rasanya menghargai perasaan guru dan menjunjung tinggi kemuliaan dan harga dirinya. Apalagi posisinya selain sebagai guru, juga sebagai tamu. Ada dua kewajiban yang harus ditunaikan sekaligus. Pemuliaan kepada guru sekaligus tamu menuntut penyambutan yang pantas, pengantaran dan pelepasan yang pantas, juga jamuan yang pantas selama berada di tempat kita.
Jangan sampai niat yang baik menjadi rusak karena cara yang buruk.
Ketika pulang, janganlah amplop itu diberi dihadapan jamaah. Pasti gurunya malu. Berilah dalam bentuk bingkisan yang pantas dan penuh kemuliaan.
Berilah bingkisan berisi kue atau yang lain. Kalau mau memberi amplop masukan ke dalam bingkisan itu. Dengan begitu kita bisa memberikan kebahagiaan ke hati beliau dan keluarga.
Selama berada di tempat kita, berilah pelayanan yang baik.
بشاشة الوجه خير من الكرى
فكيف بمن يأتى الكرى وهو يضحك
“Wajah yang menyambut dengan berseri-seri lebih indah dari suguhan makanan. Maka bagaimana lagi dengan yang datang membawa suguhan sambil ia tertawa gembira?”
Saya mau marah rasanya kepada takmir masjid yang membiarkan khatib jumat datang begitu saja, pulang begitu saja, tanpa ada sambutan dan pelepasan sedikitpun kepada beliau yang sudah meluangkan waktu dan berbagi ilmu.
Untuk mengisi acara itu, persiapan beliau bisa berapa jam sebelumnya. Belum waktu beliau yang teramat mahal yang habis di jalan.
Sebagai pihak yang mengundang, saya sangat diingatkan dengan sungguh-sungguh dan berulang-ulang oleh Ustadz Muin tentang hal ini. Muliakan tamu, muliakan guru…!
Saya pernah ditegur keras oleh beliau karena ketika memberi insentif kepada seorang guru yang menurut beliau kurang. “Wallahi, Demi Allah, kita malu ustadz kalau tidak bisa memberi yang pantas kepada guru dan ustadz yang sudah datang membagi ilmu beliau di sini” kira-kira begitu ucapan beliau sekitar 7 tahun yang lalu dan masih terus saya ingat.
Setelah itu, saya selalu konsultasi.
“Afwan Ust, insentif untuk ustadz yang mengisi kajian ini berapa?”
“Minimal 5 juta” jawab Ust. Muin suatu ketika.
Haah. Saya sedikit ternganga. Tapi sebentar saja. Selebihnya saya segera melaksanakan titah beliau. Sebelumnya saya sudah menyiapkan beberapa ratus ribu. Harus saya tambah sesuai instruksi. Pada akhirnya jumlahnya memang variatif sesuai tema kajian.
Dalam hati saya akhirnya menertawakan diri sendiri. Dulu sempat terbetik perasaan bahwa bagus dan tidaknya ceramah itu diukur dari besaran amplop. Ternyata tidak!
Jumlah insentif itu bukan ukuran ceramahmu bagus atau tidak. Itu sepenuhnya karena kebaikan tuan rumah!
Dan tentunya semua ini adalah rezeki yang sudah ditentukan dari Allah. Maka, kata Badiuzzaaman Said Nursi, bahwa salah satu rahasia keikhlasan adalah jangan sampai mengaitkan urusan uang dengan amal. Jangan sampai amal kita menjadi kurang karena kurangnya uang. Sebagaimana juga jangan sampai lidah kita kelu dan keberanian kita terpasung karena menerima uang yang lebih. Manusia itu hanya kurir. Hanya perantara. Yang memberi semata-mata adalah Allah Ta’ala.
Ust. Muin sangat memuliakan guru dan ahlul quran. Baik dalam penyambutan, pelayanan, maupun pelepasan. Bingkisan yang diberikan kepada guru hanya sebagai sedikit apresiasi dan ungkapan terimakasih. Sebab nasehat, tausiyah, kalam Allah dan kalam Rasululullah yang disampaikan oleh Sang Guru tidak akan pernah bisa dibayar dengan uang, walau diberi satu dunia ini, yang nilainya tidak lebih dari satu sayap nyamuk di sisi Allah.
Namun penyambutan yang baik, pelayanan yang baik, dan pelepasan yang baik dapat memberikan kegembiraan dan kesan yang mendalam kepada pihak yang diundang, sekaligus menjadi cermin dari martabat, harga diri, dan kehormatan dari tuan rumah dan pihak yang mengundang.
Lebih dari itu, penyambutan, pelepasan, pelayanan yang baik menjadi cermin apakah kita beriman kepada Allah dan hari akhir atau tidak, kita memuliakan Allah atau tidak?
Bukankah Rasulullah sudah mengingatkan kita dengan dua hadits ini:
“Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka muliakanlah tamunya”
“Sesungguhnya cara memuliakan Allah adalah dengan memuliakan para ahli Al Quran”
Ya… Pelayanan kita adalah cerminan kualitas diri kita.
Semoga Allah mau memaafkan diri yang masih penuh kekurangan
sumber : http://duakhalifah.com/2021/03/08/tamu-sekaligus-guru/