Belajar Sabar Dari Nabi Ibrahim Alaihissalam
Oleh: Umarulfaruq Abubakar, Lc., M.HI.
Rasa syukur tak putus-putusnya kita haturkan kepada Allah yang mempertemukan kita dengan hari-hari yang paling utama sepanjang tahun ini. Inilah hari-hari yang penuh karunia dari Allah dimana setiap amal kebaikan dilipatgandakan pahala dan balasannya.
Dalam hadits riwayat Bukhari, Rasulullah menegaskan bahwa tidak ada suatu hari pun amal shaleh di dalamnya lebih dicintai oleh Allah daripada hari-hari ini (yaitu 10 hari Bulan Dzulhijjah). Para sahabat bertanya, “Sekalipun jihad di jalan Allah?” Rasulullah menjawab “Sekalipun jihad di jalan Allah. Kecuali ada seseorang yang keluar dengan diri dan hartanya kemudian tidak kembali sedikiput darinya.”
Puncaknya adalah kemarin, tanggal 9 Dzulhijjah, ketika jamaah haji melakukan wuquf di Arafah. Bagi kita yang tidak berhaji sangat dianjurkan untuk melakukan puasa, yang bila puasa kita itu diterima oleh Allah, maka ia dapat menghapuskan dosa setahun yang lalu dan setahun kemudian. Sementara di hari ini, kita merayakan Idul Qurban, dengan amalan terbaiknya menyembelih hewan sebagai bentuk ketundukan kita melaksanakan perintah Allah Swt. Tidak akan sampai daging dan darah hewan itu kepada Allah. Yang sampai kepada-Nya adalah iman dan ketaqwaan kita dalam melaksanakannya.
Di hari yang mulia ini, totalitas penghambaan kita kepada Allah kembali diperbaharui. Teladan Nabi Ibrahim alaihissalam dan keluarganya menjadi cermin sejauh mana ketundukan kita kepada Allah Swt. Nabi Ibrahim adalah teladan sempurna tentang penyerahan diri yang utuh kepada Allah dan contoh yang agung tentang kesungguhan dalam mendakwahkan ajaran-ajaran islam.
وَإِذِ ابْتَلَى إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ
“Dan ingatlah ketika Rabbmu menguji Ibrahim dengan beberapa perintah, kemudian Ibrahim melaksanakan dengan sempurna semua perintah-perintah itu” (QS. Al Baqarah: 124)
Ketundukan yang sempurna ini memang kadang tidak dapat dipahami oleh akal pikiran dan tak dapat diterima oleh perasaan, yang bisa menerimanya hanyalah jiwa yang penuh dengan keimanan dan keyakinan. Dan Nabi Ibrahim alaihissalam telah menunjukkan kepada kita bagaimana keimanan dan keyakinan yang sempurna itu.
Nabi Ibrahim diperintah oleh Allah untuk berkhitan pada usia 70 tahun, maka beliaupun segera melaksanakannya dengan segala keterbatasan yang ada. Allah perintahkan beliau untuk mendakwahkan ajaran islam kepada penguasa paling zalim pada zamannya, maka beliau pun datang dengan gagah berani. Nabi Ibrahim bahkan menghancurkan patung-patung yang dipertuhankan oleh penduduk negeri, berdiri tegar menghadapi maut yang tampak di depan mata seorang diri. Akibat perbuatannya, beliau divonis untuk dibakar hidup hidup dan hukuman itu benar-benar dilaksanakan oleh Namrud, raja yang zhalim saat itu.
Setelah selamat dari kobaran api Raja Namrud, Nabi Ibrahim alaihissalam kembali mendapatkan perintah untuk membawa keluarga ke tengah padang pasir dan meninggalkan mereka di sana. Orang tua mana yang tega meninggalkan bayinya di padang pasir hanya bersama ibunya yang lemah? Nabi Ibrahim pun demikian. Beliau tidak rela melepas anak dan istrinya di padang tandus itu. Tapi sekali lagi ini adalah perintah Allah, dan perintah Allah adalah di atas segala-galanya. Iman perlu pembuktian. Tak sekedar pengakuan di lisan, tapi harus terpatri di dalam hati, dan terbukti dalam perbuatan. Dan Nabi Ibrahim pun melakukannya dengan ketulusan penghambaan yang utuh kepada Allah.
Saat anaknya mulai tumbuh besar dalam usianya yang belia, Allah mengizinkan Nabi Ibrahim untuk menemui keluarganya di padang pasir Hijaz yang dulunya tandus dan kering, namun kini telah dipenuhi oleh penduduk bersebab adanya Sumur Zam-zam. Dalam masa ceria pertemuan keluarga, turun perintah yang sangat berat lagi yaitu menyembelih putranya yang tercinta. Anak tertusuk duri saja, orang tua akan merasa perih hatinya. Apalagi ketika harus melihat darah mengucur dari leher sang anak oleh pisau sembelihan ayahnya sendiri.
Hati ini tak kuasa menahan haru, mata ini kuasa menahan tangis, bila membayangkan adegan yang sangat menegangkan tersebut. Ayah, ibu, dan anak saling mengikhlaskan hati untuk tunduk dan patuh melaksanakan perintah Allah. Sungguh akal pikiran kita sekali lagi tidak akan sampai bila hanya memahami peristiwa ini dengan logika semata. Yang bisa memahaminya hanyalah hati yang penuh keyakinan dan keimanan kepada Allah Swt. Sebab bagaimanapun juga perintah Allah adalah di atas segalanya…
Ketabahan hari dalam menerima takdir ilahi juga terlihat pada sahabiyyah Shofiyyah binti Abdil Muthalib saat saudara kandungnya, Hamzah bin Abdil Muthalib syahid di Perang Uhud dalam keadaan yang sangat mengenaskan; punggungnya tertusuk tombak tembus sampai ke depan, perutnya sobek dan tubuhnya yang tercabik-cabik.
Tetapi apa kata Shofiyyah setelah melihatnya? Ia berkata dengan tabah dan tegar:
إِنَّ ذَلِكَ فِى اللهِ. لَقَدْ رَضِيْتُ بِقَضَاءِ اللهِ. وَاللهَ لَأَصْبِرَنَّ وَلَأَحْتَسِبَنَّ إِنْ شَاءَ اللهُ
“Sesungguhnya ini terjadi di jalan Allah. Aku benar-benar ridha dengan ketentuan Allah. Demi Allah aku akan bersabar dan berharap pahala dari sisi Allah. Insya Allah”
Adanya cobaan dan musibah berupa Covid 19 membuat banyak orang kehilangan orang-orang terdekatnya. Kematian terasa begitu cepat dan hadir jelas di depan mata. Ditambah lagi permasalahan ekonomi yang menjadi penyebab banyak orang kehilangan pekerjaan dan mata pencahariaan. Permasalahan ini pun berdampak kepada masalah rumah tangga, pendidikan, kehidupan sosial, dan lain sebagainya.
Berbagai macam cobaan yang menimpa insya Allah akan mampu kita hadapi saat kita memiliki kekuatan hati. Inilah kekuatan yang besar yang membuat kita dapat melampaui berbagai macam cobaan yang bertubi-tubi. Seperti yang ditunjukkan oleh Bunda Shofiyah bin Abdil Mutholib tadi, bahwa dalam menghadapi semua musibah ini, pilihan sikap kita ada tiga yaitu ridha kepada ketentuan Allah, menguatkan kesabaran, dan selalu berharap pahala dan karunia dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Orang yang bersabar akan selalu mendapatkan keberuntungan selama kesabaran itu lakukan berdasarkan ilmu dan berharap keridhaan dari Allah Ta’ala.
Inilah janji Allah dalam Al Quran:
وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ
“Dan berilah berita gembira kepada orang-orang yang sabar” (Al-Baqarah: 157)
Ini adalah berita gembira dari Allah. Siapa yang bersabar ia pasti akan mendapat kebahagiaan dan kegembiraan atas kesabaran yang ia lakukan.
Maka berilah berita gembira kepada guru yang sabar; yang senantiasa mendidik muridnya dengan penuh perhatian dan kesungguhan. Berilah berita gembira kepada pekerja yang sabar, yang tidak pernah putus harapan dalam berjuang dan bekerja keras mencari nafkah. Berilah berita gembira kepada para dokter yang sabar, yang setia merawat para pasien dengan telaten dan penuh kasih sayang.
Berilah berita gembira kepada pejabat dan aparat keamanan yang sabar, yang menjunjung tinggi martabat hukum, menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi dan kelompok, berusaha memberikan kesejahteraan kepada masyarakat, berjuang menegakkan keadilan dan memberikan perlindungan dan keamanan, serta menjaga diri dari korupsi dan memakan harta yang haram.
Berilah berita gembira kepada rakyat yang sabar, tak pernah putus harapan kepada Allah atas apapun takdir yang menimpa, yang terus berusaha mengingatkan kekeliruan, dan terus menjalankan kewajibannya dengan sebaik-baiknya. Berilah berita gembira kepada mereka yang sabar atas wabah covid 19, yang membuat mereka tidak dapat menikmati kehidupan seperti hari hari sebelumnya, yang memaksa mereka untuk terpisah dan tidak berkumpul dengan seluruh keluarga pada momen indah dan bahagia seperti hari ini.
Pelajaran kesabaran yang tinggi bisa kita dapatkan dari kehidupan Nabi Ibrahim dan keluarga. Ia bersabar melaksanakan perintah Allah, bersabar menjauhi larangan Allah, dan juga bersabar menjalani segala takdir kehidupannya, walaupun harus berpisah dengan istri dan keluarganya. Nabi Ibrahim adalah panutan kita sebagai hamba Allah yang sejati dalam kehidupan kita. Maka Allah tidak heran bila Allah telah memerintahkan Rasulullah dan seluruh umatnya untuk mengikuti jejak langkah Nabi Ibrahim.
ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): “Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif” dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah” (QS. An-Nahl: 123)
Sungguh kebahagiaan yang hakiki adalah ketika kita bertekad untuk mengamalkan ajaran-ajaran Islam secara kaaffah dengan penuh kesabaran. Yaitu dengan menjadikan perintah Allah sebagai prioritas utama dalam hidup ini, menempatkan larangan Allah sebagai pantangan hidup yang harus kita hindari, dan menerima semua ketentuan Allah dengan penuh kepasrahan hati.
Inilah makna dari ungkapan “Radhitu billahi rabbaa” Aku puas Allah sebagai Rabbku, sebagai pengatur dan pelindungku. Maka aku tidak perlu khawatir menjalani hidup, atau menggantungkan nasib kepada manusia. Sebab aku yakin ada Allah yang mengatur dan melindungiku.
“Wa bil Islami dinaa” Aku puas Islam sebagai agamaku, sebagai konsep dan jalan hidupku. Maka aku tidak mencari konsep hidup selain konsep hidup yang sudah diajarkan oleh Islam.
“Wa bi Muhammadin Nabiyyan Wa Rasuula” Dan aku puas Muhammad sebagai Nabi dan Rasulku. Menjadi teladan dan pedoman utama dalam hidupku. Maka aku jadikan kehidupan Rasulullah mulia dan utama sebagai tuntunan menjalani kehidupanku.
Kita belajar dari Nabi Ibrahim alaihissalam yang telah memasrahkan jiwanya sepenuhnya kepada Allah, dengan ucapannya:
إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيفًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan teguh kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah” (QS. Al An’am: 79)
Dalam tuntunan ajaran Islam ini, sudah terkandung segala apa yang kita perlukan dari segi pendidikan, akhlak, kesehatan, sosial, ekonomi, politik, dan yang lainnya. Ajaran Allah ini akan membawa kemaslahatan dan keharmonisan dalam kehidupan umat manusia seluruhnya bila diamalkan dengan sebaik-baiknya. Pengamalan ajaran agama islam secara utuh pada akhirnya akan melahirkan pribadi yang baik dengan kesehatan yang prima, rumah tangga yang harmonis, masyarakat yang rukun dan sejahtera, serta kehidupan berbangsa dan bernegara yang aman dan sentosa.
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan” (QS. An-Nahl: 97)