Kajian Kitab At Tibyan ke 3 : Pengaruh Adab Dalam Pendidikan
Oleh : Dr.Umarulfaruq Abubakar, Lc., M.H.I.
BAB 4, ADAB PENGAJAR DAN PEMBELAJAR ALQURAN (hal 24-29 pada buku)
▪︎Pentingnya ikhlas sebagai pondasi dari seluruh amal yang kita lakukan.
Ibnul Mubarok: “Betapa banyak amal-amal yang kecil di mata manusia, menjadi besar karena niat pelakunya yang berharap pahala dan ridha Allah. Betapa banyak amal-amal yang besar di mata manusia, menjadi kecil di hadapan Allah karena salah dalam niat.
Maka dalam hal ini yang paling penting memperbaiki niatnya yaitu para pengajar dan pembelajar alquran. Sebab yang mereka pelajari adalah kitabullah, tentunya pahalanya sangat besar ketika niatnya benar. Tetapi ketika salah niatnya, maka pada akhirnya amal besar ini kecil dan tidak berarti apa-apa.
▪︎Pentingnya keikhlasan seorang guru dalam mengajar.
Imam An Nawawi: Dan waspadalah dengan sangat waspada: Jika dalam mengajar/menyebarkan ilmu, niatnya adalah semata-mata memperbanyak orang yang ikut dengannya dan yang datang kepadanya.
Dia menjadikan standar kesuksesan kalau muridnya banyak, kalau peserta kajiannya banyak. Kalau peserta kajiannya sedikit dia sedih, tidak merasa berhasil, merasa dakwahnya tidak sukses. Jumlah ini penting, tapi bukan segalanya.
Para nabi ada yang dibangkitkan di hari kiamat pengikutnya banyak, seperti nabi Musa dan nabi Muhammad. Tetapi di antara para nabi itu, ada yang dibangkitkan dengan pengikutnya hanya 10 orang, 5 orang, 2 orang, bahkan ada nabi yang dibangkitkan tanpa pengikut sama sekali. Apa terus kemudian para nabi itu gagal dalam menunaikan tugas dari Allah? Tidak. Mereka tetap berdakwah, berjuang dan yang dinilai adalah kesungguhan mereka dalam menyampaikan dakwah itu.
Beralih ke dunia maya. Kita melihat banyaknya followers, komen, seakan-akan itu menjadi standar keberhasilan dalam dakwah. Kita diingatkan betul oleh Imam An Nawawi, jangan sampai keberadaan/jumlah manusia itu menjadi standar. Dan juga hati-hati, jangan sampai dia berkecil hati jika ada di antara muridnya itu belajar pada orang lain, yang mungkin bisa mendapat manfaat dari orang tersebut jauh lebih banyak dibanding belajar kepadanya. Tidak perlu berkecil hati. Tetap mengajar, tetap bekerja/berusaha, tetap menyebarkan kebaikan.
Dan sesungguhnya, ikhlas inilah kunci persatuan. Satu orang tokoh bisa menerima kehadiran tokoh yang lainnya. Satu organisasi/lembaga pendidikan bisa menerima kehadiran organisasi/lembaga pendidikan yang lainnya, ketika sudah ada nilai keikhlasan dalam hati mereka. Tapi kalau tidak, yang bermain adalah kepentingan semata. Maka yang terjadi adalah perpecahan. Tidak suka melihat orang/lembaga lain muridnya lebih banyak.
Ini salah satu musibah yang menimpa para guru-guru yang bodoh, kata Imam An Nawawi. Ini karena menjadikan jumlah sebagai standar, yang menunjukkan ketidak ikhlasan. Sebaliknya, seharusnya mereka mengatakan pada dirinya, “Saya ingin ketaatan dengan mengajar, dan saya telah mendapatkan itu.”
Maka yang dinilai oleh Allah bukan banyak/sedikitnya yang datang, tapi seberapa besar keikhlasan guru dalam mengajar.
Ali bin Abi Thalib: Wahai para pembawa alquran/ilmu, amalkanlah ilmu kalian itu. Orang yang disebut alim sesungguhnya idalah orang yang mengamalkan apa yang dia ketahui/pelajari dan cocok antara ilmunya dan amalnya. Akan datang suatu kaum, mereka membawa ilmu tetapi ilmu mereka tidak melewati tenggorokan mereka, bertentangan antara amal dan ilmu mereka, berbeda antara batin dan dhohirnya. Mereka duduk di majelis ilmu, tetapi mereka saling membanggakan majelisnya dibanding majelis yang lain. Bahkan sampai ada yang marah kepada muridnya, ketika muridnya belajar kepada guru yang lainnya. Orang-orang seperti itu, amalnya tidak akan sampai kepada Allah.
Imam As Syafi’i, “Saya senang orang-orang mempelajari ilmu/kitab-kitab ini dan mereka tidak menyandarkan kepada saya satu hurufpun darinya.”
▪︎Menghiasi Diri dengan Akhlak Terpuji
Sepantasnya bagi seorang guru menghiasi dirinya dengan akhlak yang baik dan terpuji, perilaku yang diridhai, yang Allah tunjukkan untuknya, yaitu berupa menzuhudkan dunia dan tidak terlalu peduli persoalan dunia dan capaian-capaian penghuninya.
Zuhud adalah meninggalkan segala hal yang tidak bisa diambil manfaatnya untuk akhiratnya. Sedangkan wara’ adalah meninggalkan apa yang dikhawatirkan bahayanya di akhirat.
Bagi para guru, kadangkala yang menjadi masalah itu bukan soal gaji, insentif, ataupun rizki yang sudah ditentukan. Tetapi soal keinginan. Tau tentang fashion, kuliner, jalan-jalan, dan tau tentang macam-macam barang-barang yang sebetulnya tidak diperlukan. Tapi karena persaingan, melihat orang lain jadi ikut2an. Akhirnya, yang sebetulnya gajinya cukup, menjadi tidak cukup.
Dengan HP dan motor yang sederhana, sebetulnya sudah bisa melaksanakan tugasnya. Dengan mobil yang seadanya, sebetulnya sudah cukup. Cuma karna keinginan, gaya, ingin dianggap kaya akhirnya dia belilah HP nya sampai belasan juta. HP programnya jadi banyak yang nganggur karna memang bukan untuk keperluan tapi untuk gaya. Di sinilah pentingnya zuhud.
Berusaha utk dermawan, suka memberi, ringan tangan, dan akhlak-akhlak mulia, wajah yang selalu ceria yang tidak sampai mencari muka/perhatian orang lain.
Bersikap lemah lembut, sabar, berusaha melepaskan diri dari matapencaharian yang rendahan. Sebetulnya semua pekerjaan, selama halal, tidak ada yang hina. Hanya saja bagi guru quran, pagi mengajar quran sorenya misalnya jadi badut di jalan, atau jadi satpam diskotik, ini kan tidak sesuai dengan quran yang dia bawa. Adapun ketika mengalami masa sulit sehingga harus seperti itu, kita berusaha untuk keluar dari pekerjaan yang tidak terhormat. Begitu juga kalau ada teman yang demikian, kita harus membantu.
Dan hendaklah selalu wara, khusyuk, tenang, punya wibawa, tidak terlalu banyak bermain, menjaga sikap, tawadhu, menundukkan diri, dan menghindari banyak tertawa dan bercanda. Selalu menjaga pekerjaan/aktivitas yang dianjurkan syariat, misalkan membersihkan diri/menghilangkan kotoran (memotong kuku dan rambut). Jangan sampai guru quran compang camping, tidak teratur, hanya pakai kaos, bau, ini tentunya tidak pantas untuk posisinya sebagai guru dan menjauhkan murid darinya.
Jangan sampai ada perasaan hasad/dengki, riya, pamer, ujub (merasa diri lebih dan memandang rendah orang lain). Apapun yang dia lakukan, selalu selfi, share dengan niat riya.
Seorang guru hendaknya banyak berdzikir dan merasa selalu diawasi oleh Allah, pada keadaan sepi ataupun ramai, sendiri atau banyak orang. Dan hendaknya sandarannya hanya kepada Allah, agar pembelajaran yang dilakukan berkah. Berkah adalah menempelnya kebaikan pada sesuatu. Ketika kebaikan itu menempel kepada HP, mobil, maka HP dan mobil tersebut menjadi berkah.
Begitu juga ketika kebaikan itu menempel kepada kita, seperti kata Nabi Isa, …وَجَعَلَنِی مُبَارَكًا أَیۡنَ مَا كنت , Ya Allah jadikan aku berkah terberkahi di manapun aku berada…(QS. Maryam:31). Kalau kebaikan itu menempel pada diri kita, maka apa yang kita ajarkan kepada murid kita akan bermanfaat bagi hidupnya. Walaupun pertemuannya sebentar, atau materi yang kita ajarkan itu sederhana. Tetapi karena itu berkah, maka akan memberi pengaruh yang luar biasa.
Dan itu kita saksikan terhadap guru-guru kita. Ada orang-orang yang maa syaa Allah, kita bertemu dengan beliau cuma sebentar, kita belajar dengan beliau hanya 5 atau 10 menit, tetapi 5 atau 10 menit itu menjadi sesuatu yang berharga dalam hidup kita. Itulah berkah. Itulah pentingnya adab kita pelajari, agar berkah itu hadir dalam hidup kita.
Berusaha berbuat baik kepada murid yang kita ajar. Dan seharusnya bagi seorang guru bersikap lemah lembut kepada muridnya, menyambutnya sepenuh hati, dan berbuat kebaikan sesuai dengan keperluan (muridnya) masing2.
“Sesungguhnya manusia akan menjadi pengikut kalian. Akan datang orang-orang dari seluruh penjuru bumi, mereka ingin belajar kepada kalian. Kalau mereka datang kepada kalian, berbuat baiklah kepada mereka.” (HR. Tirmidzi)
Wallahua’lam bishshowab.