Melawan Rasa Takut

Melawan Rasa Takut

Oleh: Umarulfaruq Abubakar

=====================

وَمَا لَكُمْ اَلَّا تُنْفِقُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَلِلّٰهِ مِيْرَاثُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۗ لَا يَسْتَوِيْ مِنْكُمْ مَّنْ اَنْفَقَ مِنْ قَبْلِ الْفَتْحِ وَقَاتَلَۗ اُولٰۤىِٕكَ اَعْظَمُ دَرَجَةً مِّنَ الَّذِيْنَ اَنْفَقُوْا مِنْۢ بَعْدُ وَقَاتَلُوْاۗ وَكُلًّا وَّعَدَ اللّٰهُ الْحُسْنٰىۗ وَاللّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ ࣖ

Mengapa kamu tidak menginfakkan (hartamu) di jalan Allah, padahal milik Allah semua pusaka langit dan bumi? Tidak sama orang yang menginfakkan (hartanya di jalan Allah) di antara kamu dan berperang sebelum penaklukan (Makkah). Mereka lebih tinggi derajatnya daripada orang-orang yang menginfakkan (hartanya) dan berperang setelah itu. Allah menjanjikan (balasan) yang baik kepada mereka masing-masing. Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.

=====================

Apa yang paling berharga dari sebuah infaq?

Jumlahnya, mungkin saja. Tapi lebih dari itu, yang paling berharga adalah suasana hati yang mengiringinya.

Sudah menjadi tabiat manusia, seperti dalam Surat Ali Imran ayat 14, memiliki rasa cinta kepada uang dan harta kekayaan. Semua kenikmatan itu ingin dimiliki sendiri, atau ketika berbagi dengan orang lain, ada manfaat khusus yang diharapkan akan kembali kepada dirinya sendiri dari pemberian itu

Ayat 10 Surat Al Hadid ini memberikan penjelasan bahwa apa yang kita miliki dulu, saat ini, dan kelak nanti, semuanya akan adalah milik Allah. Kita diberi kuasa terbatas untuk mengelolanya, diminta untuk mengeluarkan sedikit saja, untuk diganti dengan pemberian yang jauh lebih berharga.

Janjinya sudah sangat jelas:

وَمَآ اَنْفَقْتُمْ مِّنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهٗ ۚوَهُوَ خَيْرُ الرّٰزِقِيْنَ

“Suatu apa pun yang kamu infakkan pasti Dia akan menggantinya. Dialah sebaik-baik pemberi rezeki” (QS. Saba’: 39)

Toh apa yang ada di tangan kita akan habis tak tersisa, sementara apa yang ada di tangan Allah itulah yang akan abadi selamanya.

مَا عِنْدَكُمْ يَنْفَدُ وَمَا عِنْدَ اللّٰهِ بَاقٍ

“Apa yang ada di sisimu akan lenyap dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal” (QS. An Nahl : 96)

Adanya rasa takut dan waswas bahwa setelah berinfak nanti akan jadi miskin, penuh kekurangan, banyak keperluan, tertunda untuk kaya, atau pertimbangan sedikitnya benefit pribadi yang bisa kita dapatkan dari infak ini, itulah yang kadang menghentikan keinginan untuk memberi.

Padahal, justru infak paling bernilai tinggi saat hati diliputi perasaan-perasaan itu, lalu kita mampu mengalahkannya.

Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah pernah ditanya: “Sedekah apakah yang paling utama?”

Beliau menjawab, “Bersedekah ketika engkau dalam keadaan sehat, sedang merasa pelit dan cinta harta, takut miskin, dan berharap kaya”

Berdasarkan Ilmu

Tentu saja semua infak dan sedekah itu akan menjadi lebih bermakna bila berdasarkan ilmu. Tidak berdasarkan semangat dan keinginan sesaat saja.

Dalam hadis riwayat Ahmad dan An Nasai, Rasulullah pernah ditanya,

“Ya Rasulallah, saya punya dinar. Kepada siapa yang saya sedekahkan?”

“Berikan untuk dirimu sendiri”

“Masih ada lagi satu dinar lagi, Ya Rasulallah”

“Berikan untuk istrimu”

“Masih ada lagi satu dinar lagi, Ya Rasulallah”

“Berikan untuk anak-anakmu”

“Masih ada lagi satu dinar lagi, Ya Rasulallah”

“Berikan untuk pembantumu”

“Masih ada lagi satu dinar lagi, Ya Rasulallah”

“Kamu lebih tau kemana engkau akan berikan”

Dalam kesempatan lain, dalam hadis riwayat Muslim dan Ahmad, Rasulullah menyatakan, “Satu dinar yang engkau infakkan di jalan Allah, satu dinar yang engkau gunakan untuk memerdekakan budak, satu dinar yang engkau berikan untuk orang miskin, dan satu dinar engkau infakkan untuk keluargamu, yang paling besar pahalanya di sisi Allah adalah apa yang engkau berikan untuk keluarga”

Inilah yang menjadi alasan mengapa Rasulullah pernah menyatakan:

“Sabaqa dirhamun miata alfa dirhamin”

Pahala Satu dirham telah mengungguli pahala 1000 dirham

Mengapa? Karena satu dirham itu didasari oleh ilmu dan iman, sementara 100 ribu dirham tidak.

Momentum yang Mahal

Nilai pahalanya selamanya tidak akan pernah sama, antara siapa yang berinfak sebelum Fathu Makkah dan setelahnya. Walaupun keduanya mendapat pahala dan karunia, tetapi nilai pahala mereka yang berinfak sebelum Fathu Makkah tidak akan pernah tertandingi.

Bahkan, kata Rasulullah dalam riwayat Bukhari, kalian berinfak emas gunung Uhud sekalipun, tidak akan pernah setara dengan infak satu mudd (675 gram) atau setengahnya dari infak para sahabat.

Di antara para sahabat sendiri pun memiliki keutamaan yang bertingkat-tingkat. Ada As Sâbiqûnal Awwalûn, istri-istri Rasulullah, peserta Hijrah Ke Habasyah, veteran Perang Badar, veteran Perang Uhud, Perang Ahzab, dan peristiwa penting lainnya.

Dalam memberikan Subsidi Baitul Mâl dan pelayanan publik, Khalifah Umar bin Khathab dan Utsman bin Affan membedakan berdasarkan tingkat keikutsertaan dalam jihad dan peristiwa penting bersama Rasulullah.

Apa yang mahal dan membedakan? Jawabannya adalah nilai momentum, keimanan yang kokoh, dan keilmuan yang dalam tentang perjuangan.

Momentum infak, memberi, berjuang, partisipasi, dan kontribusi, itulah yang membedakan satu pemberian dengan pemberian yang lain.

Semua tentu tetap akan mendapatkan pahala dan kemuliaan dari pemberiannya. Hanya saja, momentum memberikan sentuhan nilai lebih daripada yang lain.

Momentum kebaikan ini dalam bahasa hadis disebut dengan nafahât. Tentang hal ini, Rasulullah pernah mengingatkan, dalam hadits Ath Thabarâni, untuk memperhatikan dan memanfaatkan setiap nafahât dalam musim musim kebaikan.

Ramadhan adalah satu satu momentum terbaik yang sedang kita jalani.

Masihkah kita lalai?